Pertempuran  Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara  Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal  10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur.
Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia & Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya Setelah munculnya maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia, gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota.
Di berbagai tempat strategis dan  tempat-tempat lainnya, susul menyusul bendera dikibarkan. Antara lain di  teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung  Gubernuran sekarang, Jl Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai  (sekarang Tugu Pahlawan), di atas gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih  datang ke Tambaksari (lapangan Gelora 10 November) untuk menghadiri  rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.
Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih, disertai pekik 'Merdeka' mendengung di angkasa. Walaupun pihak Kempeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.
Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia & Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya Setelah munculnya maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia, gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota.
Di berbagai tempat strategis dan  tempat-tempat lainnya, susul menyusul bendera dikibarkan. Antara lain di  teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung  Gubernuran sekarang, Jl Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai  (sekarang Tugu Pahlawan), di atas gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih  datang ke Tambaksari (lapangan Gelora 10 November) untuk menghadiri  rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih, disertai pekik 'Merdeka' mendengung di angkasa. Walaupun pihak Kempeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.
![]()  | 
| Para pemuda merobek bendera Belanda | 
Karena  kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan  Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya  pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa  persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas  Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan hari ketika pemuda Surabaya  melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau  menancapkan kekuasannya kembali di negeri Indonesia, dan dianggap  melecehkan gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di  Surabaya.
Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jl. Tunjungan dibanjiri oleh rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.
Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Triwarna segera diturunkan.
Ploegman  menolak, bahkan  dengan kasar mengancam, "Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena  Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak  menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu  tidak kami akui." Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman  untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar.
Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang lalu disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik "Merdeka" berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jl. Tunjungan dibanjiri oleh rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.
Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Triwarna segera diturunkan.
Ploegman  menolak, bahkan  dengan kasar mengancam, "Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena  Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak  menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu  tidak kami akui." Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman  untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar.Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang lalu disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik "Merdeka" berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah  diadakannya gencatan senjata antara pihak Indonesia dan
 pihak tentara  Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur  mereda. Tetapi walau begitu tetap saja terjadi keributan antara rakyat  dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan  tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir  Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30  Oktober 1945. Mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat  oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.  Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang  akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan.  Mobil itu pun hangus.
Ultimatum 10 November 1945
Setelah  terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal  Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para  pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua  pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan  meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri  dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi  tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri , dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat  Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan  mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang,  kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh
 kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan  taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan  lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari  hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang  pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin  hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai  sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
 pihak tentara  Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur  mereda. Tetapi walau begitu tetap saja terjadi keributan antara rakyat  dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan  tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir  Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30  Oktober 1945. Mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat  oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.  Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang  akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan.  Mobil itu pun hangus.Ultimatum 10 November 1945
Setelah  terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal  Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para  pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua  pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan  meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri  dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi  tanggal 10 November 1945.Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri , dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk.
Pada 10  November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran  dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50  pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat  Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan  mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang,  kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh
 kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan  taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan  lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari  hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang  pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin  hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai  sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Bedalipost.blogspot.com Mengucapkan Selamat 'Hari Pahlawan', Mari Kita Meneruskan Perjuangannya
~MERDEKA atau MATI~ 


0 Response to "Fakta Tentang Insiden 10 November"
Post a Comment