cerpen keluarga- Paradise Island




Aku tahu ini bukanlah karya yang sepurha. Ini hanya sebuah cerita yang mungkin terlalu men-drama. Banyak tanda baca yang salah ataupun penempatan paragraf yg tdk pas..tp tak apa, bagiku kemampuan menyelesaikannya adalah hal yang sempurna.

Ahh..dr pada gw yang jd terlalu men-drama.. mending ente sekalian baca aja dah..

Nb: copy aja kalau mau. nggak nyantumin nama ane jg gak apa2, asal aja jangan nyantumin nama ente sbg creator ny :D

Paradise Island
          Aku berdiri mematung disini. Berdiri di dermaga pulau surga nan menawan ini, memandangi indahnya deburan air Sungai Musi yang berwarna keemasan dan berkilauan. Langit kelampun mulai memerah karena desakan sang fajar yang ingin muncul kepermukaan. Aku terus menuggu fajar, berharap cahaya itu menghampiriku. Sepuluh tahun sudah aku kehilangan cahayanya yang menerangi diriku. Udara fajar yang dingin tak mampu menahanku untuk tetap memegangi besi-besi pagar yang dipasang ditepi dermaga pulau ini. Aku tak mengerti, merasakan dinginnya besi-besi ini membuat fikiranku terhenti. Seolah ingin mengajaku pergi dan terus bersembunyi dibalik heningnya malam. Kebisuan ini menyadarkan ku kembali bahwa ada guratan-guratan indah disini, dihati ini yang ingin di baca kembali.
****
Sang mentari mulai bersinar di ufuk barat. Walaupun belum terlau terang, namun cahayanya telah membangunkan hampir sebagian besar masyarakat kawasan dermaga di Benteng Kuto Besak ini. Hiruk pikuk kegiatan masyarat disini adalah sesuatu yang biasa bagi ku. Bahkan terkadang aku menganggap ini adalah sesuatu yang menyenangkan.
“ Ren, ayo bergegas. Angkat kue-kuenya.”
Aku tersentak, lamunanku buyar.
          “Iya bu.”
Aku pun bergegas mengangkat dan menyusun barang-barang dagangan kami kedalam perahu yang sering disebut “ketek” oleh warga setempat. Aku dan ibu bekerja sebagai seorang penjual kue-kue dan pempek di suatu pulau di Sungai Musi. Biasanya banyak wisatawan yang datang kepulau ini. Terutama saat hari raya imlek atau saat waktu libur seperti sekarang. Pulau itu bernama Pulau Kemarau atau banyak warga yang menyebutnya Pulau Kemaro. Kata ibu pulau ini disebut pulau Kemaro karena pulau ini tidak pernah digenangi air meskipun air sungai Musi meningkat, pulau ini akan tetap kering alias kemarau.
Setelah usai menyusun barang dagangan kami, akupun duduk disamping ibu. Kami duduk dibagian muka perahu, disana terdapat kayu tempat duduk yang dipasang melintangi perahu. Dibelakang kami duduk empat orang remaja yang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan.nampaknya mereka berteman. Mereka semua memakai baju kaos berwarna putih dengan tulisan hitam bertuliskan I LOVE PALEMBANG dengan bawahan memakai celana jeans. Salah satu dari wanita tersebut mengenakan jilbab berwana biru langit. Jika ditilik mungkin usia mereka sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun, sama seperti usia ku sekarang.
Angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh ditambah dengan goyangan kapal kekanan dan kekiri karena deburan gelombang air dari perahu besar yang lewat di dekat ketek menambah kenangan tersendiri dalam perjalanan ini. Matahari semakin tinggi, tak lama kemudian pulau cantik dan mempesona itu pun semakin mendekat ke pelupuk mataku.  Bang Rahman pun mulai menepikan “ketek”nya dan menambatkannnya kepilar-pilar kayu yang ditanamkan ditepi sungai. Akupun bergegas turun dan membatu ibuku mengangkat barang-barang dagangan kami, menatanya diatas meja dan mulai berjualan.
****
“ Reni, gimana. Semua sudah diberesin ?” Tanya ibuku
“Sudah bu, pokonya beres deh, bisa langsung pulang terus ibu bisa istirahat.” Jawabku. “oh ya bu, Reni boleh minta waktunya sebentarrrr gak ?”
“Iya, boleh. Tapi jangan lama-lama. Kasiankan bang Rahmannya nanti nunggu” jawab ibu dengan senyum.
“Iya, sip pokoknya” kataku sambil mengangkat ke dua jempolku.
Aku langsung berdiri dan berlari menuju tepi pulau ini sambil menjinjing tas kecil berwana biru yang telah kusam dan penuh tambalan. Sesampainya ditepi pulau kusenderkan tubuhku yang kurus kepagar besi yang dipasang di tepi pulau ini. Kubalikan  badanku menghadap kepulau. Aku sangat menyukai tempat ini, tempat dimana aku bisa melihat secara utuh keelokan pulau ini. Mula-mula kukeluarkan cat minyak, kuas, lalu kertas kanvas. Kertas-kertas kanvas ini kuperoleh dari pemberian bang Yayan yang bekerja di pabrik kertas. Ia selalu menyisihkan kertas-kertas sisa pabrik dan menghadiakannnya kepada ku.
Akupun mulai melukis.  Pertama-tama kucelupkan kuas kecilku kedalam cat minyak yang berwana hijau, lalu kugoreskan hingga membentuk suatu garis indah yang melingkar menjelma menjadi sebuah pulau. Selanjutnya kuhiasi sang pulau menawan dengan hijaunya pepohonan. Sebuah pohon besar, bercabang banyak, berdaun kecil nan hijau kuciptakan di gambarku ini, pohon ini kusebut pohon cinta, karena konon menurut mitos siapa yang mengukirkan namanya disana, cinta mereka bisa langgeng atau abadi.
Kucelupkan lagi kuasku kedalam cat berwana merah dan kulukiskan sebuah pagoda besar indah yang menjulang. Pagoda gagah ini berwana merah dengan pinggiran genting berwana kuning keemasan. Setelah gambaran pulau dan pagoda tercipta, kulengkapi pula dengan gambaran dermaga yang dibawahnya mengalir tenang air sungai Musi. Warna airnya yang  coklat dan tertimpa indahnya sinar senja membuat sungai ini laksana berairkan emas yang berkilau-kilau.  
Deburan air dan hembusan angin yang membelai tubuh membuatku termenung dan semakin menyadari akan indahnya lukisan kuasa Tuhan. Pulau apung ini adalah salah satunya. Pulau ini adalah pulau yang tercipta indah bagai keajaiban, pulau yang terbalut dengan legenda cinta yang tak terhitung waktu, dan pulau yang menjadi saksi perpaduan indah dua budaya yang bernilai tinggi. Rasanya tak mampu seorang pun merenggut kekaguman dalam hati ini.
Pulau ini laksana…
“Ren, ayo pulang. Jangan melamun terus, nanti ada yang neggur”
Aku kaget. Fikiranku menyebar tak beraturan. Untuk sepersekian detik rasanya nyawaku yang telah melayamg-layang kembali lagi kedalam dunia nyata ini.
“eh, iy Bang tunggu. Tunggu sebentar” kata ku sembari membereskan semuanya dan tergesa-gesa menghampiri bang Rahman yang berdiri di bagian belakang perahunya.
“bang, dimana ibu Reni ?”
“oh, ibu Reni tadi pesen, katanya Reni pulang saja duluan ibu masih ada kerjaan. Besok Reni akan bagi kelulusan kan ?” jawab bang Rahman.
“ibu kerja apa bang ?”
“ ibu mu, bi Etik, dan bersama tiga temannya lagi ngambil upahan nyapu. Katanya nanti kalau sudah selesai ibumu akan segera lekas pulang.” Jawab bang Rahnman sembari menyalakan mesin “ketek” nya.
Aku diam saja. Terkadang aku selalu memohon, andai ayah ada disini. Lagi-lagi aku merasa mulai ada sesuatu di otakku yang memaksaku terjun dan tenggelam kemasa lalu.
Tiga tahun lalu saat aku masih duduk dibangku sekolah menengah pertama ayahku mengalami kecelakaan. “Ketek” yang dikemudikannya tak bisa menahan kuatnya hamtaman speedboat yang melaju dengan kekuatan penuh. “ketek” ayah pun hancur, beberapa penumpangnya cidera. Speedboat yang menghantam buritan kapal membuat ayah terlempar jauh dan sulit untuk ditemukan.
Baru sekitar empat jam kemudian, ayah ditemukan terlempar sekitar dua puluh lima meter dari tempat kejadian. Beberapa tulangnya patah, paru-parunya penuh berisi air, tubuhnya pucat membeku . ingin rasanya kupeluk dan kubisikan “ Ayah, ayah jangan takut. Aku akan merekatkan semua tulang-tulangmu hingga menyatu, ayah aku akan  menekan semua air yang menghambat nafasmu. Aku akan selimuti dirimu hingga engkau tak kedingan lagi. Hingga darah bekumu memanas dan memberimu kehidupan kembali.”  Masih ku inggat saat itu banjiran air mata ibu tak berhenti. Dirinya terpatung, seolah ia kehilangan mentari dalam hidupnya.
****
Malam telah larut, langit pun nampaknya tak berbelas kasih. hujan terus turun tanpa henti dan petir pun menyambar mengeluarkan suara lantangnya. Hatiku semakin risau. Sembari menunggu ibu pulang, kusiapkan makan malam kami ala kadarnya. Tak lama kemudian, kudengar langkah kaki seseorang mendekat dan itu ibu.
“ ibu. Ibu tidak apa-apa ? ini keringkan baju ibu” kata ku sembari menyodorkan handuk dan baju kering untuk ibu.
“Ibu tak apa-apa nak.”  Ibu menatapku dengan senyum lembutnya.
“jika ibu taka apa-apa. Ayo lekas kita makan bu. Sudah makan lekaslah ibu tidur segera. Nampaknya ibu akan terserang demam” jawabku khawatir.
Malam itu ternyata benar, ibu sakit demam. Tubuhnya panas, namun beliau selalu merasa kedingian. Kuselimuti tubuh ibu dengan kain panjang atau “sewet.” Malam itu aku tak dapat tidur. Aku terus mengompres, memijat tubuh ibu, dan sesekali memindahkan baskom-baskom yang terdapat dibeberapa titik di ruangan rumah kami untuk menampung air yang menetes dari atap rumah kami.
Malam yang kelam perlahan-lahan mulai ditarik kebarat. Siluet fajar mulai nampak jelas. Amukan hujan pun mulai mereda. Ibu masih demam. Selepas melaksanakan sholat subuh akupun membereskan rumah dan bersiap akan berangkat kesekolah. Hari ini, hari pengumuman kelulusanku. Berat rasanya aku meninggalkan ibuku sendiri, namun beliau tetatap bersikeras agar aku tetap pergi kesekolah.
****
Upacara berlangsung khidmat. Kepala sekolah mengumumkan satu persatu nama siswa yang mendapat prestasi terbaik.
“ baiklah, sekarang tiba saatnya untuk kita mengetahui siapakah siswa SMA kita, yang memperoleh nilai terbaik tahun ini. Dengan kata lain menjadi juara umum. Kita beri tepuk tangan yang meriah kepada anak kami Reni Marlia”
“yyeee.. prok..prokk..prokk” tepuk tangan dan sorakan membahana melingkupi lapangan ini. Puluhan kata selamat terucap dari bibir teman-teman ku. Aku bahagia. Namun aku lebih bahagia jika ibu ada disisiku. aku khawatir akan keadaan ibuku. Hatiku gundah. Ingin rasa aku berlari merjang pulang dan merangkul ibuku dan menanggung rasa sakitnya.
Acara penyerahan raport dan sertifikatpun usai, namun sebelum meninggalkan lapangan ibu wali kelas memanggilku untuk berbicara dengannya di kantor guru. Aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Suasana pun hening.
“Ren, selamat atas keberhasilanmu ya nak. Tapi ada sesuatu yang inggin ibu katakana pada mu. Sebenarnya ini berat bagi ibu, tapi ibu harus mengatakannya.” kata bu Weni. Wali kelasku.
Aku hanya mengangguk pelan. Fikiranku masih terus berlari-lari mengejar bayang-bayang ibuku. Keingginanku untuk cepat menatap wajahnya lagi terus meluap-luap tak terbendung lagi.
“Ren, maafkan ibu nak, ibu harus menahan Ijazah dan raportmu untuk sementara waktu. Ini karena…” ibu Weni terlihat ragu. Sepertinya ada sesuatu pergumulan yang hebat dalam batinnya. Namun ia tetap melanjutkan.
“ ini.. karena masalah iuran sekolahmu yang belum lunas jadi sekolahpun mengambil kebijakan itu.” Lanjutnya.
“ Ren, apa kamu baik-baik saja ?” bu Weni bertanya kembali dan nampaknya ia telah menangkap kegelisahan di hatiku.
“aku tak apa-apa bu, aku hanya inggin cepat pulang. Ibuku sakit” sembari berkata, air mataku mulai merambat turun disisi pipiku.
“hmmm.. baiklah kalau begitu. Apa yang kita tunggu. Ayo kita pulang dan kunjungi ibumu.” Bu Weni pun segera berdiri dan mengulurkan tanggannya kepadaku sembari tersenyum.
****
Rumah itu berbentuk segi empat dan juga berukuran sempit. Rumah itu terbuat dari kayu dengan cat yang berwana krim yang telah sebagian mengelupas, rumah itu memiliki satu buah pintu depan dan dua jendela sempit dikanan kirinya. Berwana biru yang juga telah usang dimakan waktu. Rumah itu beratapkan genting yang telah retak disana sininya. Namun rumah itu juga banyak dihiasi bunga-bunga marigold berwarna merah terang sehingga terlukiskan kesan ceria pada rumah itu. Kutarik gagang pintu rumah itu, kuucapkan salam sembari berlari masuk kerumah. Tak ada jawaban. Kucari ibuku di kamar namun ia tak ada, aku mulai khawatir. Aku berlari menuju dapur, kakiku terhenti. Aku berjalan perlahan mendekati beliau. Kulihat ia sedang memasak pempek kerupuk kesukaanku. Akupun teringan janji beliau, beliau berjanji akan memasaknya jika aku lulus nanti.
“ibu, aku pulang. Ibu ada seseorang yang ingin bertemu. Ibu guru ingin menjengukmu. Ia ada diruang tamu” kataku sambil menunjuk kearah ruang tamu.
Ibu bergegas keluar sementara aku tetap berdiri di dapur, aku khawatir berita penahanan ijazah ini akan seakin memperberat beban ibu, tetapi sepertinya bu Weni tak membicarakan hal itu. Tiba-tiba ibu kedapur memanggilku mengatakan bahwa ibu guru ingin berbicara padaku. Aku bergegas menemuinya, kulihat ia sedang berdiri menghadap  sesuatu.
“Ren, alangkah indahnya surga ini.” Dia terus berdiri mematung, seolah matanya enggan berlari dan ingin terus menatap suatu benda itu.
“tentu, kusebut pulau itu paradise island” jawabku mantap
Aku melanjutkan “pulau itu laksana intan didalam lumpur, walaupun terbenam ia akan selalu tetap bercahaya. ia tak akan pernah karam walau ombak ingin menenggelamkannya. Pulau dimana bait-bait cinta terhamapar bebas tanpa khawatir tertiup zaman. Pulau dimana daun-daun tumbuh dari suatu percampuran kultur yang dahsyat dan berbuahkan suatu kebudayaan yang eksotis.”
“… dan pulau dimana aku bisa nyaman merasakan hangatnya masa lalu”gumamku dalam hati . Akupun mulai terseret kembali kelorong waktu. Aku selalu ingat saat ayahku selalu membawaku kepulau surga ini setiap akhir pekan bersama ibuku. Kami sering memancing, piknik, dan tentu saja menggambar. Ayahku pandai melukis, ia sering datang kemari untuk melukis dan setiap hasil karyanya selalu ia berikan padaku. Aku yang waktu itu hanya seorang anak kecil terkadang mencoret-coret gambar itu, mengoyakannya, atau bahkan mengunyahnya. Semuanya indah sampai pada ketika ayahku difitnah oleh seseorang rekan kantornya sehingga ia diberhentikan dari pekerjaannya dan semenjak itu ayah bekerja sebagai seorang sopir ketek.
“ Ren, lukisanmu indah sekali. Ini luar biasa. Kamu punya bakat jenius dalam dirimu.” Bu weni menatapku
“ Ren, aku akan mengikutsertakankanmu dalam kompetisi melukis tingkat nasional. Kau harus ikut ini luar biasa”. Lanjutnya bersemangat.
Aku ragu untuk mengatakan iya, jauh dipalung hatiku gema penolakan terdengar lantang. Aku tidak terlalu percaya diri untuk ikut kontes itu. Namun pada akhirnya bujukan lembut ibuku akhirnya mampu meredam dilema dahsyat itu. Ibuku tahu bahwa aku sangat ingin menjadi seorang pelukis terkenal. Ia selalu mengatakan bahwa aku seperti pulau itu, sebuah intan yang akan bersinar walaupun ia tertimbun lumpur. Aku juga kuat seperti pulau itu yang tak akan tenggelam walau diterjangkan ombak. Ibuku  selalu mengatakan bahwa ayahku disana pasti akan bangga melihatku, menang atau kalah itu tidak penting. Yang penting usahaku. Ibuku percaya suatu hari nanti aku pasti akan berdiri disana, berdiri dipuncak impianku.
Akupun ikut kontes itu. Semua berjalan lancar. Sampai pada akhirnya hari pengumuman itu tiba. Semua orang tegang, sampai pada akhirnya juripun mengumumkan para juara, dan akupun harus puas dengan posisi kedua. Aku tidak kecewa, tapi aku tahu mereka kecewa. Aku tak tahan lagi, aku malu. Aku berlari sekencang-kencangnya keluar dari gedung itu. Lama aku menangis, berbagai jeritan muncul dikepalaku, seolah ribuan suara terus mendengungkan ejekan ditelingaku. Aku bahkan tak sadar bahwa ternyata bu Weni dan seseorang asing muncul dihadapanku.
“ apakah anda yang bernama Reni Marlia. Perkenalkan nama saya Johan Herbart, saya seniman dari Jerman” kata orang asing itu memperkenalkan diri.
“Reni, Johan ini teman ibu saat kuliah dulu. Beliau sangat terpukau dengan hasil lukisanmu. Beliau ingin menyekolahkanmu di Jerman dan memasukan beberapa hasil lukisanmu kedalam museum seni miliknya.”
Aku terkejut, jantungku rasanya berhenti untuk berdetak. Aku merasakan tiupan udara surga mengalir deras masuk kedalam paru-paruku. aku merasa sesak.
“tapi, mengapa anda memilih saya. Saya tidak terlalu berbakat” aku mulai sangsi
“itu tidak benar, kamu luar biasa. Kamu bisa dank mu berarti. Kamu hanya perlu latihan. Ayolah kamu harus berusaha” kata tuan Herbart.
Aku bingung ekspresi apa yang akan aku keluarkan. Aku bahagia, yang benar-benar bahagia. Namun tiba-tiba aku ingat ibuku. Melihat wajahku, bu Weni segera tersenyum dan berkata “ibumu pun akan ikut serta juga.”
****
Hari ini kami akan berangkat ke Jerman. Pesawat akan berangkat pukul 10.00 wib. Hari masih menunjukan pukul 06.00 wib. Kami sekrang berada ditepi dermaga pulau ini. Entah mengapa ibu berkata sebelum ia pergi ia inggin aku melukis dirinya dengan latar belakang pulau ini. Akupun mulai  melukisnya. Lukisan itu kemudian kuberi nama my angle and the paradise Island. Selesai melukis kamipun beranjak pergi, tiba-tiba ibuku pingsan. Aku menjerit beberapa orang segera datang menolong kami membawa ibuku kerumah sakit terdekat. Aku takut, aku takut cahaya yang menerangiku akan padam.
****
Sorotan terik mentari sepertinya mulai menyadarkanku dari kebekuan fajar. Menarik lembaran-lembaran kenangan itu kedalam ingatan dan meninggalkan diriku kembali dialam realitas ini. Sepuluh tahun telah berlalu namun pulau ini tetap indah seperti dulu. Ia tetap terapung indah meski diterjang deburan ombak. Ibu benar aku harus bisa seperti pulau ini. Aku harus terus melangkah maju dan pantang menyerah. Aku tak boleh takut dalam menghadapi tekanan-tekanan dunia luar, aku tak boleh ditenggelamkan zaman, aku harus tetap berada dipermukaan dan menunjukan eksitensi diri. Aku dan kita semua bisa dan kita semua berarti.  Kita pasti bisa mencapai mimpi-mimpi indah kita dan melewati semua terjangan ombaknya. Aku masih ingat saat terakhir aku melukis ibuku dan pulau ini,lalu menamainya my angle and paradise island.
Salah satu alasan  mengapa aku menyebutnya begitu, karena pulau ini memang laksana surga bagiku,bukan saja hanya karena ajaran filosofinya yang indah,  pulau ini adalah pulau dimana tempat kepergianan orang tuaku, pulau dimana aku bisa memungut kembali berjuta kepingan kenangan tentang ibu dan ayahku tanpa akhir. Pulau dimana seolah-olah aku bisa bercengkrama dengan mereka tanpa akhir. Pulau dimana tempatku menanam biji-biji impianku, pulau dimana aku bekerja bersama ibuku, pulau dimana aku mampu meluapkan miliaran imajinasiku dan merangkai mimpi menjadi kenyataan.
Aku pun menyadari bahwa selama ini cahaya fajar itu tak pernah pergi dariku. Hanya aku yang terlalu tertimbun awan kelabu, hingga tak menyadari cahaya itu. Tentu saja, mungkin ayah dan ibuku telah pergi namun cinta mereka terus tetap ada bersinar menerangi kemuraman hatiku.
          Aku beranjak dari tepi dermaga tempatku berdiri dan berlari sekencang-kencangnya hingga nafasku tersengal, akupun berhenti tepat disuatu pohon hijau nan permai, pohon cinta. Kugoreskan namaku, ibuku, dan ayahku.
Akupun berlari lari menuju dermaga, sembari berlari kutarik nafasku dan kuteriakan “Paradise Island”
****

Nama           : Dini Indah Pratiwi
Angkatan     : 2012
Jurusan       : Pendidikan Sejarah

0 Response to "cerpen keluarga- Paradise Island"

Post a Comment